Sebuah refleksi buat adikku, Ardyna,
Yang sedang memasuki negeri antah-berantah bernama cinta.
Semoga Engkau tidak tersesat di dalamnya,sebab jalan ini
Memiliki dua lorong berkelok, satu menuju kehidupan
Yang kedua menuju kematian.
***
Pembacaan Risalah.Cintamu pada sahabatmu, adalah kekayaan jiwamu bagi jiwanya, maka simpanlah di kotak hartamu dan jagalah ia sepanjang hari-harimu, sebab, ketika kamu tidak bisa memberinya pada semua orang, maka bersedekahlah buat dia seorang. Sahabatmu bukanlah dia yang membuatmu terpesona, sebab jika kamu mengukur persahabatan dengan daya pesonanya, maka khamr pun bisa membuat terlena para pemabuknya. Sahabatmu adalah dia yang ketika menerima sedekahmu, dia menyedekahkan dirinya buat dirimu, sahabatmu bukan pula dia yang tertawa ketika kamu tertawa, bukan pula yang bersedih ketika kamu kecewa, tapi sahabatmu adalah dia yang menjadi pasak kehidupanmu, dia tidak lantas menjadi dirimu, tapi semacam seremonial suci yang menjadi ruh dalam perjalanan langkahmu, dan sanggup menghadirkan dunia lain selain dugaan-dugaan lemahmu.
Dirimu adalah sebuah negeri, jika otakmu kau nobatkan sebagai kepala Negara, biarlah hatimu menjadi hakimnya, jika ragamu kau buat daratan, biarlah jiwamu menjadi lautan, maka senandungkanlah lagu kemerdekaan bagi negerimu sendiri, dan jangan kau nyanyikan lagu kemerdekaan dari lain negeri.
Dan cintamu hanyalah bagian dari kekayaan lautmu, jika ia harus musnah dari negerimu, jangan kau musnahkan pula seluruh kekayaanmu. Jika ia harus membuatmu lelah dalam menjaganya, juallah pada kehidupanmu sendiri, biarlah dia yang akan memprosesnya menjadi makanan bagi anak-anak cita-citamu, karena mereka lah anak-anakmu yang sebenarnya.
Jika kamu ingin tahu keadilan kepala-negaramu, matamu harus bisa membedakan sinar mentari hari ini dengan sinar mentari hari kemarin!, sebab hari kemaren adalah lambang kematianmu, hari ini adalah kehidupanmu, dan besok adalah harapanmu. Lalu tanyakan pada dua telingamu, apa yang bisa mereka dengarkan dari perdebatan abadi siang dan malammu? Jika dua telingamu bisa mendengarkan keduanya secara arif, lalu bertanyalah pada dua kakimu! gunung mana sajakah yang telah dia daki? Puncak Abi Qubiskah atau gunung Himalayakah? Jika keduanya tidak bisa menjawab semuanya, berarti telah kau cekal hakimmu sendiri sekian lamanya, sebab tidak ada hakim yang tidak bijak, yang tidak bijak adalah para pemberontak, itulah nafsumu sendiri. Sudah saatnya kau demonstrasikan darah segarmu dan sepoi nafasmu di depan kepala negaramu yang khianat, sambil kau bisikkan dengan sepenuh kemesraan sebuah nasehat,"Kami Rakyatmu Hanya Butuh Perubahan".
Jika telah tercapai kemakmuran di negerimu, cobalah kau mulai satu pelayaran bulan madumu, tapi bukan di samudera negerimu, ia adalah samudera tak bertepi. Airnya asin bukan karena bergaram, tapi karena mengalir dari danau keikhlasan. Sebisa mungkin dengarkanlah langgam hatimu, dan jangan hadirkan kata jemu, dan lihatlah buih di sekitarmu, ia takkan pernah menziarahi pantai mimpi-mimpimu tanpa kegaduhan ombak lautmu, demikianlah hari-harimu.
Dirimu adalah sebuah negeri, jika otakmu kau nobatkan sebagai kepala Negara, biarlah hatimu menjadi hakimnya, jika ragamu kau buat daratan, biarlah jiwamu menjadi lautan, maka senandungkanlah lagu kemerdekaan bagi negerimu sendiri, dan jangan kau nyanyikan lagu kemerdekaan dari lain negeri.
Dan cintamu hanyalah bagian dari kekayaan lautmu, jika ia harus musnah dari negerimu, jangan kau musnahkan pula seluruh kekayaanmu. Jika ia harus membuatmu lelah dalam menjaganya, juallah pada kehidupanmu sendiri, biarlah dia yang akan memprosesnya menjadi makanan bagi anak-anak cita-citamu, karena mereka lah anak-anakmu yang sebenarnya.
Jika kamu ingin tahu keadilan kepala-negaramu, matamu harus bisa membedakan sinar mentari hari ini dengan sinar mentari hari kemarin!, sebab hari kemaren adalah lambang kematianmu, hari ini adalah kehidupanmu, dan besok adalah harapanmu. Lalu tanyakan pada dua telingamu, apa yang bisa mereka dengarkan dari perdebatan abadi siang dan malammu? Jika dua telingamu bisa mendengarkan keduanya secara arif, lalu bertanyalah pada dua kakimu! gunung mana sajakah yang telah dia daki? Puncak Abi Qubiskah atau gunung Himalayakah? Jika keduanya tidak bisa menjawab semuanya, berarti telah kau cekal hakimmu sendiri sekian lamanya, sebab tidak ada hakim yang tidak bijak, yang tidak bijak adalah para pemberontak, itulah nafsumu sendiri. Sudah saatnya kau demonstrasikan darah segarmu dan sepoi nafasmu di depan kepala negaramu yang khianat, sambil kau bisikkan dengan sepenuh kemesraan sebuah nasehat,"Kami Rakyatmu Hanya Butuh Perubahan".
Jika telah tercapai kemakmuran di negerimu, cobalah kau mulai satu pelayaran bulan madumu, tapi bukan di samudera negerimu, ia adalah samudera tak bertepi. Airnya asin bukan karena bergaram, tapi karena mengalir dari danau keikhlasan. Sebisa mungkin dengarkanlah langgam hatimu, dan jangan hadirkan kata jemu, dan lihatlah buih di sekitarmu, ia takkan pernah menziarahi pantai mimpi-mimpimu tanpa kegaduhan ombak lautmu, demikianlah hari-harimu.
2 komentar:
hahahahaha... tambah keren jurus maut diksimu itu kak.. terus update ya,,, biar adikmu ini bisa banyak belajar :D
Hahahha, sy malu dg tulisan ini, Lek Yazid. Kok kayak mnjiplak pnya Gibran, ya :P
Posting Komentar