Blogger Kompasiana Facebook Twitter
Syaikh Ali Gum'ah Yusuf Al-Qaradhawi Al-Habib Umar bin Hafidz Al-Habib Ali Al-Jufri Prof. Dr. Zaghlul El-Naggâr Dr. Mohamed Emarah Prof. Dr. Thaha Al-'Ulwâni Syaikh Mohamed Hassan Yusril Ihza Mahendra Goenawan Mohamad Andrea Hirata Helvy Tiana Rosa Asma Nadia Gus Mus Dewi Lestari
Abdul Mun'im Kak Faizi Kak Musthafa B Kak Mamak Thiya Renjana Bahauddin Amyasi Izel Muhammad
Al-Arabiyah Al-Jazeera Kompas Tempo Interaktif Jawa Pos Sindo Surya Republika Duta Masyarakat Surabaya Pagi Detik
Waqfeya Library Al-Mostafa Library Mohdy Library
Google Yahoo MSN

Sabtu, 20 Oktober 2007 | Monggo dinikmati

Mengenang Tujuh Hari Kematianmu

Halaman ini diakses sebanyak: kali

Belum lagi kubayar janji-janjiku kepadamu, adikku, kamu tergesa-gesa meninggalkan aku sendiri di sini. Untaian kenangan yang kita sulam, sekarang serasa monomen bisu, kaku. Adakala ia merayap perlahan di dinding momoriku tak ubahnya beribu-ribu semut, kecil tapi menggigit. Dalam suasana seperti itu, aku hanya bisa tersenyum sendiri.

"Kakak, ajari aku sufisme, ya?" katamu manja. "Sufi? Mana aku tahu?" gumamku saat itu, ingatanku langsung tertuju pada ID-ku, Sufi_mabuk, "Owh...inilah rupanya yang memancing ketertarikanmu pada dunia yang kata pejalan di dalamnya seringkali membuat nyeri di hati" lagi-lagi aku menggumam, gumamku sendiri terasa aneh di hati. Tidakkah kamu baca kata "mabuk" di belakang itu, adikku? Baiklah, sekarang aku buka tabir rahasia itu, semoga di keabadianmu di sana, kamu masih sempatkan diri mengikuti seremonial basa-basiku saat ini. "mabuk" itu adalah denyut ketidaksadaran terhadap ledakan-ledakan makna semua yang wujud, ia bisa bermakna pula ketersesatan diri dari lorong yang diteorikan oleh akal budi, yaitu sketsa cita-citaku sendiri. Dan sebagaimana hukum kausal yang berlaku pada semua karya Tuhan, rasa mabukku pun terjadi bukan tanpa sebab, apalagi tanpa alasan. Alasan itu adalah sebuah rasa kudus yang lahir sejak awal mula kemanusiaan di buka bumi ini. Sampai akhirnya aku tahu, bahwa jauh di dalam titik substansialnya, ia menyimpan dilema-dilema yang misterius. Aku tahu setelah pertanyaan-pertanyaanmu menohok hatiku. Saat itu aku ibarat orang gila, yang untuk membuatnya sadar kembali terkadang membutuhkan pukulan-pukulan tertentu sebagai terapi. Banyak hikmah yang kudapatkan saat itu, sebagaimana sering kau doakan di sela-sela canda-tawamu.

Saat itu sempat juga terlahir dari rahim benakku, agar kamu jangan terlalu berani dengan racun ini, karena itu hanya akan mengorbankan waktu, perasaan, bahkan pikiran, dan itu sama saja dengan bunuh diri. Padahal, hampir dari semua yang kuucapkan kepadamu senyatanya tidak lebih dari sebuah peringatan juga buat diriku sendiri, karena aku saat itu sama persis sepertimu, seorang pesakitan yang sedang menunggu vonis mati dari perasaannya sendiri, ya.....saat itu kita sama-sama putus asa. Sekarang terbukti, kamu benar-benar bunuh diri. Sebenarnya, yang membuatku sakit hati, kenapa kamu bunuh diri tepat di hari kelahiranku? Kamu seperti tak pernah menghormatiku.

Sekali waktupun aku pernah mengatakan: "Cintamu hanyalah sebagian dari kekayaan lautmu, jika ia harus musnah dari negerimu, jangan musnahkan pula seluruh kekayaanmu", Tapi kamu memang tidak pernah mau mendengar kata-kataku, ia hanya kau jadikan pajangan indah di dinding rumahmu dengan alamat Jl. Terus. Aku mengerti, karena kamu terlalu kaya oleh sekedar perasan anggur jiwaku, anggur kecut yang dipanen dari kebun kering ketidakberdayaan, tapi sayang sekali, yang kamu pintal selama ini hanyalah buih-buih kehidupan, bukan kapas-kapas kehidupan, dan selamanya buih tidak akan pernah menjadi pakaian.

Baiklah, aku sudahi sampai di sini upacaraku malam ini, karena di luar purnama terlalu muram untuk kuajak bicara, kita bertemu lagi di seratus hari kematianmu, sampai jumpa..

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2010 - All right reserved | Template design by Hamzah Herdiansyah | Published by Jurnalborneo.com
Proudly powered by Blogger.com | Best view on mozilla, internet explore, google crome and opera.