Blogger Kompasiana Facebook Twitter
Syaikh Ali Gum'ah Yusuf Al-Qaradhawi Al-Habib Umar bin Hafidz Al-Habib Ali Al-Jufri Prof. Dr. Zaghlul El-Naggâr Dr. Mohamed Emarah Prof. Dr. Thaha Al-'Ulwâni Syaikh Mohamed Hassan Yusril Ihza Mahendra Goenawan Mohamad Andrea Hirata Helvy Tiana Rosa Asma Nadia Gus Mus Dewi Lestari
Abdul Mun'im Kak Faizi Kak Musthafa B Kak Mamak Thiya Renjana Bahauddin Amyasi Izel Muhammad
Al-Arabiyah Al-Jazeera Kompas Tempo Interaktif Jawa Pos Sindo Surya Republika Duta Masyarakat Surabaya Pagi Detik
Waqfeya Library Al-Mostafa Library Mohdy Library
Google Yahoo MSN

Sabtu, 20 Oktober 2007 | Monggo dinikmati

Sabtu Malam Di Madinah Asyir Min Ramadhan

Halaman ini diakses sebanyak: kali

Sabtu Malam Di Madinah Asyir Min Ramadhan;
(Sebuah Catatan Perjalanan)*
Malam itu langit cerah ketika acara aqiqah atas kelahiran putri pertama seorang teman di Griya Jawa Tengah usai, secerah hatiku yang turut bergembira menyambut hari kelahiran putrinya. Setelah acara terakhir yaitu ramah-tamah usai, undangan pun banyak yang pamitan, termasuk aku.
Di depan Griya, aku menunggu kendaraan yang bisa mengantarku pulang ke rumah di bilangan Masâkin Ostman, cukup lama juga aku menunggu, sementara kulihat deru lalu lalang kendaraan mulai sepi, padahal jam baru menunjukkan pukul setengah sebelas malam. “Aneh” pikirku, sebab tak biasanya jam segini jalanan sudah sepi. Tak mau berpikir panjang lagi, aku segera melompat ketika kenek sebuah Eltramco berteriak, “Sabi’, makrom abid, maskan…maskaaan”, “ ah…legaaa” batinku, saat itu, karena ternyata ada juga akhirnya yang bisa mengantarku pulang setelah lutuku pegal-pegal serasa mau patah.




Sebagai anak baru yang masih belum begitu hafal jalanan kota Kairo, ditambah lagi pendengarannku yang tidak begitu akrab dengan dialek Arab Mesir, aku diam saja ketika Eltramco yang aku tumpangi melampaui kawasan al-Hayy as-Sâbi, karena aku pikir nanti pasti akan melintas juga di Masâkin Ostman, di depan apartemen dimana aku tinggal. Dengan tenangnya kubiarkan Eltramco tersebut melaju memecah malam.
Aku tersesat. Akhirnya itu yang bisa aku simpulkan, sebab mana mungkin Jam 00.30 Eltramco masih juga beputar-putar di daerah yang sama sekali asing bagiku, ternyata benar, “ Hena akhir ya rais, inzil” kata sopir singkat di sebuah mahattah. Sampai sekarang aku tidak tahu di daerah mana mahattah itu, mau tidak mau aku terpaksa turun dengan segumpal kebingungan, ah…begitu cepatnya suasana berubah, padahal dua jam sebelumnya masih kurasakan suasana ceria di Griya KSW, dan kebingungan itu semakin mengental kala kurogoh saku celanaku, kulihat di tangan uangku hanya tinggal lima belas Pound, aku sengaja membawanya pas-pasan dari rumah, sebab aku hafal betul karakterku yang suka jajan, juga karena tidak menduga hal ini akan aku alami.
Bagaimana kalau uang ini tidak cukup? Itulah sebenarnya yang lebih menyebabkan bingungku mencapai titik teratas dua kali lipat, bukankah tidak ada yang menjamin di kendaraan yang aku tumpangi nanti tidak akan sesat lagi? Kucoba menanyai beberapa orang Mesir yang lewat di depanku, namun tak satupun yang ku mengerti bahasanya, bicara sepatah dua patah kata, mereka lalu geleng-geleng kepala, "Gila" umpatku saat itu mulai marah, demikian marahnya, aku tidak bisa berpikir panjang lagi, maka ketika ada bus mini bertuliskan "Zahro’" melintas, aku langsung saja melompat tanpa bertanya apakah arah yang dituju bis itu mau ke Zahro’ atau sebaliknya? Aku kaget luar biasa ketika beberapa menit kemudian lagi-lagi di sebuah mahattah semua penumpang turun secara serempak tanpa dikomando, sementara sopir memberikan isyarat kepadaku agar turun juga, sebab aku masih duduk setengah tak percaya kalau akan diturunkan di sini. Benar, kesasar lagi.
Kubaca sebuah plang di pojok mahattah tertulis "Madinah el-Obour", “sejauh inikah aku tersesat?” tanyaku pada diriku sendiri, aku teringat cerita seorang teman, bahwa kota ini sudah di luar Kairo, ah…nasib memang tak pernah mau kompromi, "Tenang, hatiku" kataku menghibur diri, walaupun ketenangan itu tak kunjung kembali, sebab bisa dibayangkan bagaimana seorang anak baru sepertiku sendirian malam-malam di tempat asing dan jauh seperti ini. Mau tidak mau harus kutelusuri terus pelataran mahattah, kudekati sebuah Eltramco putih necis metalik, "Asyir ?" Tanya seorang anak kecil berumur sekitar dua belasan kepadaku. Nah, ini dia! tanpa ragu aku mengangguk senang, akhirnya aku pulang juga, pikirku. Sudah ku tulis sebuah rencana di benakku, el-Hay al-'Asyir….ya walaupun malam ini aku tidak bisa pulang ke Masâkin, aku akan menginap di el-Hayy al-'Asyir, di rumah temanku. Musim panas begini mereka biasanya tidak tidur walaupun jam tiga dini hari, kulihat jarum jam sudah menuding ke angka 02.00 dini hari, tidak masalah, asal aku bisa sampai ke Kairo, itu yang penting, aku bisa tidur lelap mengenyahkan sisa lelah yang berkepanjangan, itu yang terpenting. Bayang-bayang kasur yang empuk sudah dari tadi mengundang kantuk.
Untuk ketiga kalinya aku ganti kendaraan, Eltramco necis ini benar-benar necis, bayangkan, untuk kendaraan sekelas dia sudah sangat istimewa dengan fasilitas AC yang sejuk, jok yang empuk dengan peralatan lain yang semuanya masih baru dan bersih, walaupun tarif memang lebih mahal dari biasanya, dua pound. Hampir saja kantukku muncrat di sini.
Setelah mutar-mutar di jalanan kota dengan kerlap-kerlip lampu kotanya yang serasa menyaingi gemintang di angkasa, tiba-tiba Eltramco memasuki sebuah kawasan berbukit-bukit gelap, untung malam itu bulan sedang purnama, dengan gemintang di atas yang muncul cuma beberapa seperti cari nama, amboy indahnya, bayang-bayang pepohonan yang hitam bagaikan bayangan Julius Caesar mengintip Cleopatra, sementara dengkur orang-orang di sebelahku sejak tadi bersahut-sahutan tak ubahnya konser musik di malam buta, malam itu aku betul-betul ber-Isrâ' (ih..kayak nabi aja). Senang.
Sejenak rasa bingungku hilang seketika, namun kembali aku curiga setelah Eltramco memasuki kembali jalanan kota yang menderang, dari tadi ku hitung sudah ada dua kota yang kulalui yaitu kota As-salâm dan Al-Syorouq, kenapa tidak lewat di jalan di mana tadi aku tersesat waktu berangkat? Benarkah ini ke el-Hayy al-'Asyir? Akhirnya pertanyaan-pertanyaan itu terjawab ketika sopir kembali menitahkan sabdanya" dzi akhir ya rais". Kesasar lagi, di tempat sepi lagi.
"Dzi mahattah, eh?" tanyaku sok mantap pada seorang mesir, padahal, aku tahu apa bahasa arab 'Ammiyah, maka ketika orang itu menjawab, justru aku yang kelabakan tidak nyambung (makan lo hehe). Akhirnya, dari plang yang ada sebenarnya tak perlu bertanya, inilah kota 'Asyir ramadhân, bukan al-Hayy al-'Asyir yang aku tuju, akhirnya, paham tidak paham aku bertanya lagi"Enta arif madinah Nasr?" mereka semua menggeleng,"el-Hayy al-'Asyir?" sekali lagi mereka menggeleng, payah, ini lah maha puncak dari semua kebingunganku, ketika aku mencoba pakai bahasa arab fusha, salah seorang di antara mereka membawaku pada seseorang yang sedang duduk di dekat sebuah bangunan, orangnya parlente tidak seperti yang lain, dari sikapnya jelas sekali kalau dia berpendidikan, setelah bercakap-cakap sebentar dengan temannya dia bertanya"Aina taskun?" tanyanya ramah dengan bahasa fusha, "El-hayy al-'Asyir madinah nasr, enta arif?" menjawab sekaligus bertanya "Aywah" jawabnya. Akhirnya dia bertanya berapa uang yang aku bawa, ku masukkan tangan ke celanaku, aku taksir ada sekitar sembilan pound, tapi terpaksa aku berbohong menjawab lima pound, sebab secara spontan saat itu terbayang cerita-cerita buruk tentang keganasan orang Mesir, tentang penipuan mereka, pemerasan mereka dan lain sebagainya, apalagi di tempat lengang seperti ini, aku hanya takut ketika orang yang ada di hadapanku ini menipuku, secara otomatis tidak ada uang lagi yang kumiliki sebagai ongkos pulang. Bagaimana kalau seandainya aku ditinggalkan di sebuah tempat yang terpencil sebagaimana dalam berita-berita kriminal? Mengingat itu semua, aku bergidik ngeri, apalagi setelah aku sadar tidak membawa paspor. Aku tidak bisa membayangkan.
Namun, apa yang sempat aku pikirkan sama sekali tidak menjadi kenyataan, setelah Eltramco yang mau membawaku mau berangkat, orang tadi, yang kemudian kuketahui bernama Ahmad, dengan ramahnya menuntun tanganku masuk ke dalam, pun ketika mau turun di mahattah di kota as-Salâm, semua barang bawaanku dibawakan, padahal dia sendiri membawa barang yang kelihatan berat sekali, bahuku dipeluk, bahkan ongkos perjalanan selama dari kota al-'Asyir min Ramadhân dia yang menanggung semuanya, kontras sekali dengan cerita buruk yang selama ku dengar. Yang membuatku terharu bahkan menitikkan butir air mata, adalah ketika dia memberikan alamatnya kepadaku berikut nomor teleponnya, agar aku main ke rumahnya, bahkan dia menanyakan nomor telepon rumahku, agar dia bisa tahu apakah aku sampai di rumah apa tidak.
Mengingat itu semua, aku hanya berjanji, ketika aku tidak bisa membalasnya secara langsung kepadanya, biarlah aku balas semua jasanya kepada saudaranya sesama Orang mesir yang papa, InsyaAllah.
Aku sampai di rumah.
Demikianlah, ada beberapa catatan penting dari pengalaman ini, pertama, kita tidak boleh menggenalisir, bahwa orang Mesir itu jahat sebagaimana sering saya dengar dari teman-teman yang kebetulan menjadi korban mereka, sebab baik dan jahat adalah sunnatullah yang bisa terjadi dimana saja, pun di lingkungan kita,
Kedua, pengalaman tersebut menyadarkan kita, bahwa kita butuh silaturrahmi (baca: solidaritas) tanpa memandang apakah dia sebangsa dengan kita atau tidak, yang penting dia Muslim. Silaturrahmi menurut saya, adalah konsep dan prinsip persatuan kita umat Islam tanpa terbelenggu nasionalisme sempit, salah satu lunturnya persatuan Negara-negara arab, menurut saya adalah tidak adanya silaturrahmi tingkat tinggi yang intens di antara mereka, bagi mereka, bangsaku adalah bangsaku, bangsamu adalah bangsamu.
Ketiga, silaturrahmi hanya bisa dibangun di atas husnudzan dan i'tikad yang baik, sebab, bagaimana kita bisa mengikat ukhuwah jika sedari awal kita dibayang-bayangi ketidakpercayaan,
Keempat, kejelian dalam kondisi apa pun, seperti tidak lupa membawa paspor, uang yang memadai, nomor telepon rumah atau teman yang bisa dihubungi, jika tidak tahu betul jalan yang akan kita lewati, sebaiknya kita bawa teman yang tahu dan lain sebagainya.

*Dari sebuah arsip masa lalu.

3 komentar:

-Filantropy- mengatakan...

Wah, ini pasti tulisan barumu yah!

Good Job!!!

DeMIS mengatakan...

apa kabar abbasi?
gak keliatan sih sekarang?
udah nyenyak di sana ya lupa saat pertama2 nulis sketsa itu waktu edisi magang,,,
hehe jadi rindu saat pelatihan ama up grading..
ditunggu kedatanganmu di sini,
di kantor busuk
datanglah dengan wangi aromamu
biar aku juga ketularan :D

A. Mommo mengatakan...

haha... mangkanah je' lakoh leng-ngaleleng kak. dan jangan lupa ya, walau di mesir, jangan lupa pribahasa indonesia: sedia onta sebelum tersesat. huahahaha :D

oya,,, imron deteng tapi emailnya tak enga' katanya. dia titip salam lewat saya kemaren kak.

Posting Komentar

 
Copyright © 2010 - All right reserved | Template design by Hamzah Herdiansyah | Published by Jurnalborneo.com
Proudly powered by Blogger.com | Best view on mozilla, internet explore, google crome and opera.