Blogger Kompasiana Facebook Twitter
Syaikh Ali Gum'ah Yusuf Al-Qaradhawi Al-Habib Umar bin Hafidz Al-Habib Ali Al-Jufri Prof. Dr. Zaghlul El-Naggâr Dr. Mohamed Emarah Prof. Dr. Thaha Al-'Ulwâni Syaikh Mohamed Hassan Yusril Ihza Mahendra Goenawan Mohamad Andrea Hirata Helvy Tiana Rosa Asma Nadia Gus Mus Dewi Lestari
Abdul Mun'im Kak Faizi Kak Musthafa B Kak Mamak Thiya Renjana Bahauddin Amyasi Izel Muhammad
Al-Arabiyah Al-Jazeera Kompas Tempo Interaktif Jawa Pos Sindo Surya Republika Duta Masyarakat Surabaya Pagi Detik
Waqfeya Library Al-Mostafa Library Mohdy Library
Google Yahoo MSN

Kamis, 25 Oktober 2012 | Monggo dinikmati

Yang Miskin dan Yang Intelek

Halaman ini diakses sebanyak: kali

Alkisah, seorang petani bermaksud menjual sekarung gandum ke pasar. Ketika karung gandum itu dimuatkan di atas punggung untanya, karung itu selalu terjatuh. Setelah berpikir keras, ia mengisi satu karung lagi dengan pasir. Ia merasa bahagia karena menemukan pemecahan yang menakjubkan. Dalam keadaan seimbang, kedua karung gandum itu bertengger di samping untanya.

Di tengah perjalanan, ia berjumpa dengan orang yang tampaknya miskin. Tubuhnya kurus, pakaiannya lusuh dan tidak bersepatu. Ketika dudduk bersama, beristirahat, petani mendapatkan bahwa kawan yang miskin itu ternyata sangat bijak. Ia menggetahui banyak hal. Ia mengenal tokoh-tokoh besar, kota-kota besar dan gagasa-gagasan besar. Tidak henti-hentinya petani itu takjub dengan kepintarannya. Ia menanyakan apa yang dibawa dalam untanya. Ia menjawab bahwa satu karung berisi gandum dan satu lagi pasir. Orang bijak itu tertawa, "Mengapa tidak Anda bagi dua gandum itu dan menyimpannya dalam dua karung; masing-masing setengahnya?"

Petani semakin kagum. Ia tidak pernah sampai pada pikiran secemerlang itu. Tiba-tiba ia menyadari keadaan si bijak. Ia menanyakan apakah ia punya pekerjaan. "Saya tidak punya sepatu, rumah atau pekerjaan. Bahkan untuk makan malam pun saya tidak tahu apakah saya memperolehnya."
"Lalu, apa yang Anda peroleh dari semua kecerdasan dan ilmu pengetahuan Anda?" tanya petani. "Saya hanya mendapat sakit kepala dan khayalan hampa," jawab si pintar. Petani kita melepaskan tali untanya, dan beranjak pergi. "Pergila menjauh dariku. Aku kuatir kemalanganmu berpindah kepadaku. Aku bodoh karena mengisi sekarung lagi dengan pasir, tapi ketololanku telah memberikan kehidupan kepadaku."

Kisah di atas ditulis Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi. Kita disindir dan diejek karena menghabiskan usia hanya untuk mempertahankan gelar dan kecendekiawanan palsu.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2010 - All right reserved | Template design by Hamzah Herdiansyah | Published by Jurnalborneo.com
Proudly powered by Blogger.com | Best view on mozilla, internet explore, google crome and opera.