Alkisah, seorang petani bermaksud menjual
sekarung gandum ke pasar. Ketika karung gandum itu dimuatkan di atas punggung
untanya, karung itu selalu terjatuh. Setelah berpikir keras, ia mengisi satu
karung lagi dengan pasir. Ia merasa bahagia karena menemukan pemecahan yang
menakjubkan. Dalam keadaan seimbang, kedua karung gandum itu bertengger di
samping untanya.
Di tengah perjalanan, ia berjumpa dengan
orang yang tampaknya miskin. Tubuhnya kurus, pakaiannya lusuh dan tidak bersepatu.
Ketika dudduk bersama, beristirahat, petani mendapatkan bahwa kawan yang miskin
itu ternyata sangat bijak. Ia menggetahui banyak hal. Ia mengenal tokoh-tokoh
besar, kota-kota besar dan gagasa-gagasan besar. Tidak henti-hentinya petani
itu takjub dengan kepintarannya. Ia menanyakan apa yang dibawa dalam untanya.
Ia menjawab bahwa satu karung berisi gandum dan satu lagi pasir. Orang bijak
itu tertawa, "Mengapa tidak Anda bagi dua gandum itu dan menyimpannya
dalam dua karung; masing-masing setengahnya?"
Petani semakin kagum. Ia tidak pernah
sampai pada pikiran secemerlang itu. Tiba-tiba ia menyadari keadaan si bijak.
Ia menanyakan apakah ia punya pekerjaan. "Saya tidak punya sepatu, rumah
atau pekerjaan. Bahkan untuk makan malam pun saya tidak tahu apakah saya
memperolehnya."
"Lalu, apa yang Anda peroleh dari
semua kecerdasan dan ilmu pengetahuan Anda?" tanya petani. "Saya
hanya mendapat sakit kepala dan khayalan hampa," jawab si pintar. Petani
kita melepaskan tali untanya, dan beranjak pergi. "Pergila menjauh dariku.
Aku kuatir kemalanganmu berpindah kepadaku. Aku bodoh karena mengisi sekarung
lagi dengan pasir, tapi ketololanku telah memberikan kehidupan kepadaku."
Kisah di atas ditulis Jalaluddin Rumi dalam
Matsnawi. Kita disindir dan diejek karena menghabiskan usia hanya untuk mempertahankan gelar
dan kecendekiawanan palsu.
0 komentar:
Posting Komentar