Blogger Kompasiana Facebook Twitter
Syaikh Ali Gum'ah Yusuf Al-Qaradhawi Al-Habib Umar bin Hafidz Al-Habib Ali Al-Jufri Prof. Dr. Zaghlul El-Naggâr Dr. Mohamed Emarah Prof. Dr. Thaha Al-'Ulwâni Syaikh Mohamed Hassan Yusril Ihza Mahendra Goenawan Mohamad Andrea Hirata Helvy Tiana Rosa Asma Nadia Gus Mus Dewi Lestari
Abdul Mun'im Kak Faizi Kak Musthafa B Kak Mamak Thiya Renjana Bahauddin Amyasi Izel Muhammad
Al-Arabiyah Al-Jazeera Kompas Tempo Interaktif Jawa Pos Sindo Surya Republika Duta Masyarakat Surabaya Pagi Detik
Waqfeya Library Al-Mostafa Library Mohdy Library
Google Yahoo MSN

Minggu, 29 Juli 2007 | Monggo dinikmati

Membaca; Kegiatan Menakar Makna Kemerdekaan

Halaman ini diakses sebanyak: kali
Tugas kita di sini hanya ada tiga: 1. Belajar 2. Belajar 3. Belajar (Pram)

"Iqra' bismi rabbikalladzi khalaq"bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan, demikianlah sepenggal kalimat dalam Al-Quran yang mengawali seluruh permulaan hidup Nabi yang sama sekali radikal dengan konteks jahiliah saat itu, sebuah betotan moral yang menuntut pembacaan intens beliau terhadap semua yang wujud, entah itu kosmos atau pun mikrokosmos, pun pembacaan terhadap pengalaman hidup dan sejarah manusia, bahkan secara teoritis terhadap masa depan (baca:planning), sebab, langkah revolusioner mana pun, pasti berpijak pada 'Pembacaan' ini. Demikian lah, kegiatan pembacaan itu kemudian kita kenal sebagai 'Belajar', dan Tuhan pun telah menyediakan segalanya buat kita sebagai medium kegiatan belajar ini, tinggal bagaimana kita memanfaatkannya. Enam puluh satu tahun yang lalu, ketika pertama kalinya pekikan "Merdeka" diteriakkan di sudut-sudut kota dan pojok-pojok kampung, para pejuang tidak lupa menyelipkan dua kata lagi sesudahnya yaitu "Hidup atau Mati" sebagai gerbong perjuangan bagi generasi berikutnya, sebab mereka sadar betul, tidak seorang pun bisa menjamin bahwa para penjajah akan pergi selamanya dan tidak akan kembali lagi, apa pun bentuk penjajahan itu. Dan kekhawatiran kita menemukan kenyataannya saat ini. Lihatlah, ketika ego kita memanjakan budaya hedonisme, ketika budaya "santai" bersekongkol dengan "molor waktu" memandulkan kreatifitas kita, ketika hati kita terlalu cengeng jika ada musibah mengusili kita, ketika paradigma negatif bersarang di dinding-dinding otak kita, yang berklimaks pada bobroknya kita secara kolektif, saat itu lah kita masih terjajah, maka di sinilah, ya, saat inilah dan selamanya, pameo "Hidup atau Mati" menemukan relevansinya. Sebab, penjajah itu sewaktu-waktu bisa berwajah kita, atau bahkan bangsa Indonesia beramai-ramai menjajah dirinya sendiri.Dan kini, atas nama ritual wajib bernama "Belajar" di atas, satu pertanyaan menggelitik kita, kenapa nenek moyang kita dulu rela mengorbankan segalanya? jawaban yang paling mungkin adalah seperti dilukiskan oleh penyair muda Madura, Faizi L. Kaelan "Hidup bukanlah usia, tapi karya", atau kalau mau lebih radikal lagi, merekalah yang bisa diklaim dan bahkan mengklaim—kalau mau—sebebagai pewaris para nabi yang sebenarnya, sebab dalam Al-quran Tuhan pun telah menitahkan firman-Nya, "Dan katakan lah: Bekerjalah, niscaya Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman akan melihat hasil kerjamu", dan menurut saya, interpretasi yang paling pas mengenai "kerja" di atas adalah "karya", hingga para pejuang kita rela berselimut tanah demi mewujudkan karya itu, yaitu kemerdekaan. Dari sekian miliar nyawa mereka yang satu-satu, hanya ada satu tubuh buat mereka, yaitu tubuh "Perjuangan". Hidup bagi mereka bukan lah hembusan nafas yang berkali-kali, apalagi sekedar denyutan nadi yang kesekian kali, tapi hidup bagi mereka adalah keyakinan, bahwa kebenaran adalah hak, bahkan kewajiban semua orang, dan pada masa itu, kebenaran yang paling "Benar" bernama "Kemenangan" (baca:kemerdekaan) dari segala bentuk penghinaan. Kenyataannya, mereka hidup sampai detik ini, setidaknya di hati mereka yang menyadari bahwa perjuangan belum selesai sampai di sini.



Lalu bagaimana dengan kita?.
Kemarin natijah turun, sebuah asumsi menyebutkan, bahwa tahun ini tingkat ke-rosiban MASISIR mengalami peningkatan, hal ini sebenarnya merupakan kosekuensi logis dari meningkatnya kuantitas masisir juga, jadi hampir tidak ada yang salah dengan itu semua, justeru yang salah adalah ketika kita dengan seenak perut kita mencerca Al-azhar yang nota bene ibu kedua setelah ibu kandung kita, tanpa mengindahkan kode etik seorang—yang katanya—terpelajar. Ketika dulu kita berani memasuki Al-azhar, berarti kita sudah berani memasuki sistem dan tetek-bengek-nya, itu artinya kita sudah siap menerima semuanya, entah itu hal yang positif maupun yang negatif, seperti pendataan dengan memakai sistem manual yang rentan mengalami kesalahan, proses belajar-mengajar dengan metode talaqqi, dan lain sebagainya. Itu maklum saja, sebab kita tidak memberi apa pun terhadap Al-azhar, membayar pun tidak, kenapa kita terlalu banyak menuntut? Toh kalau kita mau jujur, sebenarnya positifnya pun bisa membuat kita angkat topi, biaya kuliah yang hampir tidak ada, kekayaan bahan pustaka yang belum tentu bisa kita dapatkan di institusi pendidikan mana pun, keikhlasan—insyaallah—para doktornya, dan lain sebagainya.


Di sinilah sebenarnya medan juang kita, coba bandingkan dengan perjuangan kakek buyut kita dulu, selama 350 tahun mereka habiskan usia mereka untuk satu perjuangan saja, merebut kemerdekaan. Dalam rentang waktu yang demikian panjang itu, berapa generasi yang dikorbankan? Bayangkan!, pernahkah mereka mengeluh untuk mundur? Proklamasi 45 jawabannya. Sementara kita? Hanya karena tradisionalisme sebuah sistem saja sudah berteriak-teriak marah minta mundur, hanya karena rosib saja kita sudah pintar beradu alasan untuk malas belajar, belum lagi alasan musim dingin, musim panas, antrian panjang kala mengurus ijroat, penatnya bergelantungan di atas bis—padahal bergelantungan di bis pun ketika ujian saja—dan alasan-alasan lain yang kadang tidak masuk akal. Seberapa besar sih tantangan yang kita hadapi jika dibandingkan dengan cobaan yang mendera kakek-nenek kita? Saya kira tidak ada apa-apanya. Nah, paradigma seperti ini lah yang harus kita tumpas habis, sebab demikianlah wajah penjajah kita saat ini, Padahal perjuangan kita saat ini baru memasuki garis mula, perjuangan yang sebenarnya adalah ketika kita pulang ke Indonesia.


Oke lah, rosib boleh saja membuat kita sakit hati, tapi jangan sampai mebuat kita patah hati, yang rosib jangan menangis, tapi tersenyum lah yang manis, masih ada waktu empat tahun lagi buat menata diri, marilah kita benahi diri kita untuk menantang medan hidup ini, bukankah "Gnothi seauton", kenalilah dirimu, kata Socrates? Mari kita ciptakan semangat kita sebagai amunisi tangguh untuk menaklukkan diri kita sendiri untuk menjadi pejantan sejati. Bukankah konon Rabi'ah el-adawiyah pernah menyindir kita dengan perkataannya yang terkenal bahwa "Jika kejantanan hanya diukur dengan pelir dan jenggot, maka kambing pun punya itu semua", pejuang sejati tidak perduli berapa kali dia jatuh, tapi yang penting berap kali dia bangkit.


Demikianlah sekedar "pembacaan" dan "pembelajaran" kosong penulis terhadap satu deretan sejarah manusia, semoga kita bisa "Membaca" dan terus "Belajar" sampai kita bisa menjadi murid terbaik dari pengalaman. "Merdeka; Hidup atau Mati".


*Tulisan ini pernah dimuat di buletin Prospek edisi Agustus 2006 dengan perubahan seperlunya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2010 - All right reserved | Template design by Hamzah Herdiansyah | Published by Jurnalborneo.com
Proudly powered by Blogger.com | Best view on mozilla, internet explore, google crome and opera.